Aku selalu
termenung, sunyi dalam diam, memandang nanar ke arah sungai musi yang luas itu
ketika ragaku berada pada tempat ini. Tempat dimana aku dan kamu pernah berada
disini bersama-sama, menikmati suasana sore yang indah di perahu kecil terapung
itu dan makan pempek disana, berdua. Senyum mungil ku selalu tersungging ketika
ingat suasana itu, sayang. Dan beberapa detik kemudian, senyum itu menjelma
menjadi mutiara yang menganak sungai dari mataku. Bodoh..
Sekarang, semuanya tidak lagi seperti dulu, setelah keputusan mu untuk pergi ke
Batam, menggapai cita-citamu yang katamu telah lama kamu impikan sejak dulu.
Dan aku tak dapat berbuat apa-apa, ketika pilihan itu kamu ambil dalam hidupmu.
“Selamat sore kakak-kakak yang cantik dan ganteng, di sore hari yang indah ini,
izinkan saya untuk menyanyikan sebuah lagu, menemani waktu santai kakak-kakak
sekalian” suara pengamen itu membuyarkan
lamunanku.
jreng jreng, pengamen laki-laki itu pun mulai memetik gitarnya dan menyanyikan
sebuah lagu “Cinta itu Buta” milik Armada di sudut keramaian para pengunjung
tempat yang sering di datangi oleh para pemuda-pemudi wong Palembang itu, Benteng Kuto Besar.
Dengan pemandangan sungai musi yang terbentang luas dan jembatan ampera yang
kokoh menjulang, menjadi kepuasan tersendiri bagi yang menikmatinya ketika
berada di tempat yang terkenal itu. Termasuk aku. J
Di kota ini, sekitar
tiga tahun yang lalu, aku bertemu dengan seseorang yang mengagumkan yang mampu
menarik perhatianku hingga membuat aku menjadikannya dunia bagi hidupku hingga
kini, sebut saja namanya Raka.
Raka adalah
laki-laki yang aku kenal lewat teman kuliahku. Dia adalah anak pertama dari dua
orang bersaudara, yang memiliki tanggung jawab tinggi untuk keluarga, yang
memiliki tekat untuk mengubah kehidupan keluarganya yang miskin menjadi orang
yang berada. Yah, dari ceritanya itu aku mulai simpati padanya.
Hidupnya penuh dengan motivasi dan semangat, orang yang cerdas tapi tidak punya
kesempatan untuk melanjutkan kuliahnya, hingga ia pun menjadi seorang karyawan
yang pindah dari satu tempat ke tempat lain, di berbagai perusahaan untuk
memenuhi kebutuhan keluarganya.
Cinta kami
berawal ketika dia bercerita padaku tentang mantannya Tata yang telah
memutuskan hubungan dengannya karena orang tua mereka yang tidak setuju dengan
kisah cinta mereka berdua. Orang tua Tata bilang, Raka tidak pantas mendapatkan
Tata, dia adalah laki-laki miskin yang kelak tidak bisa menjamin kehidupan Tata
di masa depan. Hingga mereka sekarang harus berpisah demi memenuhi permintaan orang
tua Tata yang tidak menyetujui hubungan mereka.
Sejak saat itu, dia membuka dirinya untuk wanita lain yang dapat memenangkan
hatinya seperti Tata yang telah berhasil menjadi dunianya.
Dan wanita itu adalah aku.
Malam itu, ketika
dia telah bercerita banyak padaku, tentang cerita cintanya yang putus di tengah
jalan, dia kemudian berkata seperti ini padaku, sebuah kalimat yang mengejutkan
untuk seseorang yang baru saja patah hati karena cinta.
“Ketika aku
berada pada posisi yang sangat membuat aku putus asa, kamu hadir Ra, dengan
cahayamu yang mampu menerangi hatiku, menghangatkan jiwaku, aku yakin kamu
adalah malaikat yang dikirim Tuhan untuk mengobati lukaku, aku mau kamu jadi orang
yang spesial dalam hidupku Ra, menemani di setiap perjuanganku, mendampingi di
setiap lelahku saat menghadapi pahit getirnya hidup ini.”
Jelasnya panjang
lebar padaku melalui sms dari handphone.
“Tapi kenapa
harus aku?” balasku beberapa detik kemudian
“Karena aku
merasa kamulah wanita itu Ra, dan jadilah bagian dari jiwaku, aku mohon”.
Pintanya padaku
Aku berpikir
sejenak dan mengetik sms itu untuknya
“Yah Raka, aku mau, aku mau jadi wanitamu”.
Iya, aku mau jadi wanitanya karena aku ingin belajar lebih banyak lagi tentang
kehidupan ini darinya. Pikirku kala itu.
Setelah malam
itu, hari-hari yang aku dan dia lalui seperti surga dunia yang keindahannya
hanya kami saja yang tahu. Hanya kami
berdua.
Termasuk hari
indah itu, ketika seharian dia mengajakku berjalan-jalan mengelilingi kota
Palembang dengan berjalan kaki, yang mungkin saja akan membuat aku lelah, tapi
tidak jika aku bersamanya.
Perjalanan hari
itu di mulai dari ketemuan di salah satu mall Palembang, PIM. Disana kami
mengunjungi sebuah toko buku, karena kebetulan aku dan dia punya hobi yang
sama, mengoleksi buku-buku.
“Nih buat kamu,
di baca ya”. Ia menyodorkan sebuah buku untukku
“Ngapain aku baca
beginian, aku kan belum nikah”.
“yah, baca ini ga harus udah nikah juga Ra, ini bagus
juga tuk wanita yang belum nikah, yang mau belajar sebelum nikah”.
Aku kembali
melihat buku itu, buku berjudul “Doa Istri untuk suami”
“hemmm, bagus
juga.. sini deh aku baca”.
Dia tersenyum
mendengar ucapanku dengan tatapan matanya yang merasuk sejuk tepat di hatiku,
ces!
Aku dan dia
kembali berkelana dari rak buku satu ke rak buku yang lainnya.
Hingga kebosanan mulai menghampiri.
Dan akhirnya aku
dan dia memutuskan untuk beranjak darisana. Setelah berkeliling mall beberapa
jam, aku dan dia pergi ke tempat yang lain.
Kaki kami berjalan beriringan, menikmati suasana kota yang ramai, dengan suara
kendaraan yang lalu lalang dan terik matahari yang sepertinya cemburu melihat
aku dan dia, dengan panasnya yang cukup menyengat dan membuat aku berkeringat.
Berhenti di
sebuah tempat, ia bertanya padaku
“Kamu haus?”
“bentar yah, aku
beliin air minum dulu buat kamu”
Tak berapa lama
kemudian ia datang membawa 2 botol air minum dingin dan menyerahkannya padaku.
“Satu untuk kamu,
dan satu untuk aku”
Dengan senyumnya
yang khas itu.
“makasih” balasku dengan senyum yang tak kalah manis
Setelah beberapa
teguk air minum, ia mengajukan pertanyaan padaku
“Ra, kamu sayang
sama aku?” dengan sorot matanya yang tak mampu ku tatap lebih dalam.
“Kenapa tiba-tiba
nanya begini?” aku balik bertanya
Aku terdiam
sejenak, dan menarik nafas perlahan...
“Iya Raka, aku
sayang sama kamu. Kalau tidak kenapa aku ada disini untuk kamu, haio?” jawabku
dengan sedikit canda
“Kalau begitu,
jangan tinggalin aku yah” Ia menarik tanganku dan menggenggamnya.
Dan matanya, huh,
sorot matanya... aku benar-benar tak mampu menatapnya.
“Iya, aku janji
tidak akan meninggalkanmu, aku usahain ya” yakinku padanya
“janji?” sambil
mengangkat jari kelingkingnya
“iya janji”
balasku dengan mengangkat jari kelingking kecilku
Hari itu ku lalui
dengan indah bersamanya, dengan tempat terakhir yang kami kunjungi Benteng Kuto
Besak. Suasana disana, selalu membuatku merasa lebih baik,
angin yang sepoi-sepoi, dan pemandangan sungai musi yang memukau mata serta ada
dia bersamaku.
“Balik yuk Ra” ajak Yuni teman yang ikut bersamaku ke tempat ini
“eh Yuni, ngagetin aja, emm
bentar lagi yah” balasku padanya
“Hmmm kita udah hampir 3 jam disini Ra, masa ga bosen-bosen juga”
“oh iya ya, hmm kok kayak bentar banget ya”
“ya iyalah, kamu ngelamun terus
gitu, emang mikirin apa sih Ra? Kangen Raka ya?” selidik Yuni sambil menatap
mataku
Aku hanya tertawa lepas mendengar ucapannya
“ih malah ketawa coba, ayo balik yuk, aku udah bosan disini”
“iya iya, bawel... yok balik” ajakku padanya
Yeah, mungkin
benar... aku kangen Raka, aku kangen banget sama dia.. dan selalu, ketika ku
merindukannya, langkah kaki ku selalu membawaku ke tempat ini..
Tempat favorit
kami berdua, apalagi perahu terapung itu...
Tuhan, sampai
kapan dia tinggal di otakku, pikiranku, kapan aku bisa terbebas dari
bayang-bayangnya, kenapa aku belum juga bisa melupakan orang yang telah tega
meninggalkan aku pergi dengan orang lain.
Sekitar 4 bulan
yang lalu, aku mendengar kabarnya telah menikah dengan kekasih lamanya Tata,
entah bagaimana aku menjelaskan perasaanku saat itu. Hancurkah? Sakitkah? Aku
rasa tidak ada kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan betapa hancur leburnya
perasaanku, perih menyayat lukaku yang sembilu.
Tapi lagi lagi
entahlah, kenapa aku masih juga belum bisa menghilangkan rasa cintaku pada
Raka, aku sangat sangat mencintainya Tuhan...
Di setiap
harinya, aku selalu merintih, menyayangkan takdir-Mu..
Yang berkata
bahwa Raka bukan untukku, bukan diciptakan untukku, bukan belahan jiwaku, aku
selalu menyesali takdir-Mu itu, dan selalu melontarkan pertanyaan pada-Mu,
kenapa bukan aku yang ada disampingnya, ada di setiap harinya, menjadi bagian
dari hidupnya. Kenapa bukan aku Tuhan...
Hingga yang ku
dapatkan bukan jawaban, tapi malah keletihan yang teramat sangat.
Entah sampai
kapan aku begini...
“Cinta yang
selalu kau berikan tak pernah hilang dari otakku, bagai menjadi darah daging
yang melekat di tubuhku, mengalir seperti aliran darah di ragaku, menjadi roh
di dalam jiwaku, mungkinkah kau merasakan apa yang aku rasakan...
jika tidak, maka aku lah orang termalang itu yang selalu setia mencintaimu
dalam anganku, dan tak pernah kau tau itu".
entahlah, kenapa airmata itu masih saja bisa mengalir lagi dan lagi untukmu,
padahal semua sudah sangat lama berlalu, tapi waktu juga tak dapat menghapus
perasaanku padamu... “.
Malam ini aku menangis lagi, dengan mata yang bengkak aku melihat jam dinding
kamarku menunjukkan pukul 01.23 WIB, insomnia itu selalu menyerangku ketika aku
teringat dan merindukannya.
Aku merindukannya,
sungguh sangat merindukannya
Lirih hatiku
menyebut namanya...
Aku rasa tidak
ada yang dapat menolongku selain dia, hanya dia yang dapat menolongku,
mengeluarkanku dari derita kerinduan yang teramat ini...
Siapa lagi kalau
bukan dia, tapi......
Aku ingin mati
saja rasanya, ketika ku melihat semuanya tak lagi sama seperti dulu...
Aku yang dulu
selalu tegar, semangat dalam menjalani kehidupan, dan selalu tersenyum
menjalani hari karena ada dia, kini berubah seperti sebuah pohon lapuk yang
mungkin sebentar lagi akan tumbang dan tak berguna...
Aku terus
merintih lirih, hingga kelelahan itu menghampiriku dan perlahan mulai membuat
mataku terlelap...
“Ra, maafin aku yah...
aku harus pergi, peluang untuk menggapai cita-citaku kini telah ada di depan
mata, aku tak ingin membuang kesempatan itu dengan sia-sia” jelasnya padaku
hari itu.
“ kamu benar mau pergi?” tanyaku mencoba memastikan
“Iya Ra, aku
harus pergi...” yakinnya
“lalu bagaimana
jika aku merindukanmu nanti?”
“kamu bisa
kapanpun menelpon dan menanyakan kabarku”
“tapi...”
kalimatku tertahan
Aku tak sanggup
meneruskannya, aku tak sanggup lagi membendung tangisku.
Aku terisak di
antara angin yang berhembus sore itu, mereka mencoba menyeka air mataku... tapi
apapun itu, tak akan bisa menghapus kesedihanku yang sebentar lagi akan
kehilangan seseorang yang ku sayang.
“Aku pasti
kembali Ra. Aku akan kembali lagi kok buat kamu. Dengan kesuksesan yang aku
hadiahkan buat kamu. Jangan sedih ya”. Bujuknya dengan tangan yang menghapus
butiran-butiran airmataku.
“tapi, tapi aku
pasti ga akan bisa melalui
hari-hariku tanpa kamu, aku ga bisa
kamu tinggalin, aku ga mau, pokoknya
kamu harus tetap disini, sama-sama aku”
Isakku makin
menjadi seperti anak kecil
“Ra, percaya sama
aku. Kita pasti bisa melalui ini semua dengan kekuatan cinta kita. kita pasti
kuat menjalaninya” sekali lagi ia mencoba menyakinkanku
Kali ini dengan
pelukan hangatnya, yang tak bisa membuatku berkata-kata lagi. Hanya terisak.
Entah apa maknanya.
Sore itu, di
tempat favorit kami berdua. Dengan matahari yang perlahan menenggelamkan
dirinya. Aku mendengar keputusannya untuk meninggalkan Palembang dan mengejar
impiannya di Batam.
Aku, wanita
malang itu. Akhirnya melepas kepergian Raka, laki-laki yang telah menguasai
penuh otakku dengan namanya.
Selamat jalan
Raka, semoga kamu dapatkan apa yang kamu inginkan.
Aku menyisih menghindari cipratan
hujan di antara semak- semak beton yang mencakar langit di kota ini. Garis hitam yang melingkari mataku
menyenandungkan duka terpendam. Duka itu selalu ku endapkan di dasar jiwa.
Selalu kubawa pergi mengikuti jejak kaki yang tak lelah menapak.
Aku mengusut muka dengan kedua
telapak tanganku. Malam seharusnya bertabur bintang, tapi tidak malam ini. Di
langit cuma ada bulir-bulir hujan yang menitik ringan.
Rintik hujan yang membuat seluruh
tubuhku basah. Aku biarkan saja. Seperti masa laluku yang Aku biarkan selalu
datang menghantui. Masa lalu yang Aku biarkan hadir hingga membuatku selalu
terluka. Aku memandang bayang-bayang masa lalu dengan hampa dan penuh derita.
Memandang nanar ke arah perahu-perahu itu dari atas jembatan Ampera di kota ini. Memandang luka
yang memaku langkahku. Memandang semua itu dengan penuh kerelaan.
Seketika terbesit untuk segera
mengakhiri semuanya dengan caraku yang mungkin sangat konyol bagi orang lain. Tapi
bukankah tidak ada yang peduli tentang keadaanku termasuk Raka, yang sekarang
pasti sedang tersenyum bahagia bersama istrinya tercinta.
Aku menoleh ke kiri dan kananku,
memastikan tidak ada yang melihatku yang mulai menaikkan kakiku ke atas pagar
jembatan dan bersiap untuk terjun dari atas jembatan, berharap aku akan
secepatnya lenyap dan meninggalkan penderitaan hati ini. Saat itu, dalam
pikiranku adalah mati atau Raka. Hanya itu.
Aku tanpa ragu, mulai bersiap untuk
menjatuhkan badanku ke bawah jembatan. Mungkin mati lebih baik untukku. Hanyut
di bawa arus sungai dan tak ada yang tau.
“Tuhan, maafkan aku” lirihku pelan
Aku melepaskan peganganku pada
pagar jembatan… dan…
“Rara, rara,
bangun ra...” suara mama membangunkanku dari mimpi buruk itu
“mama...!!!” aku
bangun dari tidurku dan seketika memeluk mama
“kenapa sayang,
tadi mama dengar kamu menyebut nama Raka terus” tanya mama
“aku mimpi buruk
ma...” timbal ku pada mama
“udahlah sayang,
cuma mimpi” tenang mama sambil menyodorkan segelas air putih untukku.
“iya ma” aku
meneguk air itu
Mama mengusap
lembut kepalaku dan mulai bicara sesuatu..
“sayang, rencana
papa sama mama liburan kali ini kita mau pergi ke puncak, dan kamu harus ikut”
“Puncak ma? Wah
udah lama banget kita ga kesana. Aku mau ma, mau banget”
“iya, mama juga
udah lama pengen ajak kamu refreshing
karena akhir-akhir ini mama sering banget
lihat kamu murung. Jadi mama pikir kamu juga butuh buat jalan-jalan”
“iya ma, aku
suntuk banget sama tugas-tugas
kuliah, pokoknya ntar kalo nyampe di puncak aku ga mau bete-bete an lagi atau murung lagi, janji deh ma”
“benar ya sayang,
kamu mesti janji sama mama, kamu harus mulai ngelupain semuanya tentang Raka.
Dia udah punya istri sayang, dan hidup kamu ga berhenti sampai sini aja. Mama
sedih banget lihat keadaan kamu yang seperti ini. Kamu ga mau kan, bikin mama
sedih. Masih ada mama, papa, adik-adik kamu yang sayang dan perhatiin kamu.
Lupain Raka ya sayang, buat mama”
“iya ma, Rara
janji” yakinku dengan senyum kecil itu
Beberapa pagi telah berlalu sejak mimpi buruk itu terjadi.
Mentari hari ini cerah sekali, secerah suasana hatiku saat ini.
Akhirnya, setelah sekian lama aku pun terbangun dari tidur panjangku, dari
mimpi burukku. Aku bebas dari semua itu sekarang.
Yah, mulai hari ini aku akan berjanji pada diriku sendiri untuk menerima
kenyataan. Kenyataan pahit yang harus aku rasakan manis untuk hidupku yang
lebih baik.
Kenyataan yang sebenarnya indah bila aku bisa melihat dari sisi lain dengan
pikiran positif ku bahwa apapun itu, jika berasal dari-Nya maka itulah yang
terbaik.
Tuhan tidak pernah salah dalam hal menyatukan sepasang hati yang terpisah.
Dia selalu tahu apa yang di butuhkan oleh hamba-Nya.
Dan hanya Dia yang Tahu segalanya.
Tuhan, pintaku pada-Mu pagi ini temukan aku pada pangeran cinta yang telah
lama ku tunggu kedatangannya dengan membawa sebungkus kado yang berisi
ketulusan dan kesucian cinta.
Izinkan aku bertemu pangeranku, berikan aku pirasat bahwa dialah yang kau
ciptakan untukku, dialah belahan jiwaku, separuh nafasku, cinta yang telah lama
hilang dan akhirnya ku temukan.
Izinkanlah Tuhan...
By Rara,
Wanita dalam halusinasi Anna Machdinni